Hubungan industrial merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk di
antara pelaku proses produksi barang atau jasa yang melibatkan sekelompok orang
dalam suatu organisasi kerja. Tujuan dari hubungan industrial adalah
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha. Produktivitas
dan kesejahteraan merupakan dua hal yang saling berkaitan erat dan saling
mempengaruhi. Peningkatan produktivitas perusahaan dan kerja tidak bisa dicapai
apabila kesejahteraan pekerja tidak diperhatikan atau diberikan harapan tentang
kesejahteraan yang lebih baik di masa depan. Demikian juga sebaliknya,
kesejahteraan pekerja tidak bisa dipenuhi atau ditingkatkan apabila tidak
terjadi peningkatan produktivitas perusahaan dan kerja.
Hubungan industrial dapat dijelaskan dengan pendekatan tertentu dari
berbagai pendekatan yang ada. Pendekatan-pendekatan itu, antara lain unitaris (unitary), pluralis (pluralist), marxist (radikal). Sementara itu, J. Dunlop
mengemukakan bahwa dalam menganalisa hubungan industrial perlu mempertimbangkan
peraturan-peraturan di tempat kerja (the
rules of the workplace) sebagai variabel dependen yang dipengaruhi oleh
interaksi para pelaku hubungan industrial sebagai variabel independen. Proses
interaksi itu (variabel independen), meliputi 3 hal berikut.
- Status relatif
dari pelaku (the relative status of
the actor).
- Konteks di mana
para pelaku berinteraksi (the
context in which the seactors interact).
- Ideologi dari
sistem hubungan industrial (the
ideology of the industrial relation system).
Perselisihan industrial biasanya diawali dengan tuntutan pekerja, baik
secara lisan maupun tulisan. Perselisihan timbul ketika usulan atau tuntutan
pekerja tidak segera ditanggapi oleh pihak pengusaha, tidak segera dilakukan
perundingan atau karena kesepakatan antara manajemen dan pekerja tentang jenis
tuntutan atau nilai tuntutan belum tercapai. Perselisihan industrial dapat
diartikan sebagai perselisihan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja atau serikat pekerja menyangkut masalah hak, kepentingan, dan pemutusan
kerja serta perselisihan antarserikat pekerja di satu perusahaan.
Hubungan Industrial di Indonesia
Hubungan industrial pada awal kemerdekaan di mana masih diwarnai oleh
orientasi politik. Pada masa ini seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan untuk
mempertahankan kemerdekaan sehingga polarisasi dalam hubungan industrial
tidaklah terasa. Polarisasi dalam hubungan industrial mulai dirasakan ketika
pada Tahun 1947 terbentuk serikat buruh SOBSI yang berorientasi pada komunisme.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, terjadi gerak balik perkembangan
hubungan industrial, seperti pada masa kolonial di mana pemerintah terlibat
jauh dalam penataan hubungan industrial di Indonesia. Dengan kata lain, kalau
pada masa Orde Lama gerakan buruh menjadi riuh rendah dengan politik maka pada
masa Orde Baru gerakan-gerakan buruh menjadi sepi secara politik. Bahkan buruh
diasingkan, diabaikan dari politik, dan gerakan buruh dibatasi di bawah wadah
tunggal serikat buruh atau yang dikenal dengan istilah political labor union.
Kemunculan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) dapat dikatakan merupakan
bagian dari restrukturisasi gerakan buruh di Indonesia oleh pemerintahan Orde
Baru. Langkah restrukturisasi dimaksudkan, antara lain untuk meredam ancaman
aktivitas politik buruh terhadap stabilitas sosial politik yang dibutuhkan
untuk mendukung pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Orde Baru
menjalankan 2 langkah sekaligus, yaitu penataan pada aspek kelembagaan dan
aspek ideologi.
Salah satu perubahan penting akibat kebijakan desentralisasi adalah
munculnya sistem hubungan industrial yang memungkinkan para buruh bebas
mendirikan serikat buruh pada tingkat perusahaan sesuai dengan UU No. 21/2000.
Di samping itu, pemerintah juga telah meratifikasi beberapa konvensi ILO (International Labor Organization-PBB),
termasuk Konvensi No. 87 Th. 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak untuk Berorganisasi.
Sumber :Modul Sosio Industri
0 comments