Otonomi Daerah

11/22/2013

Pada masa orde baru otonomi daerah telah tercatat dalam UU No.5 tahun 1974. Kemudian pada era reformasi UU No.22/tahun 1999, keputusan pelaksana otonomi daerah lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan politis daripada pertimbangan teknik. Arti kata, masih belum siap. Oleh karena itu dalam otonomi daerah lahir suatu perbedaan, cara pandang beserta dampak dan negative suatu otonomi daerah.

Dampak positif dari otonomi daerah menjadi hal yang paling baik diharapkan. Hal ini dikarenakan control pemerintah pusat dipertanggungjawabkan kepada pemerintah daerah. 

Sehingga, dalam menghadapi persoalan masyarakat, pemerintah daerah memiliki wewenang dalam setiap pengambilan keputusan, begitu juga dengan pembangunan, maupun dana yang ada lebih besar untuk kebutuhan masyarakat dan satuan perangkat kerja daerah.   

Sedangkan dampak negative dari otonomi daerah menjadi hal yang harus diperhatikan juga. Hal ini dikarenakan adanya oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab  dengan menggunakan wewenang atau kebijakan berdasarkan kepentingan politiknya. Karena kontrol dari pemerintah pusat bagi otonomi daerah yang begitu lemah akan memberikan gambaran-gambaran yang terjadi bagi sistem birokrasi di Indonesia.

Dari berbagai pedebatan distasiun televisi, ada yang mengatakan bahwa sistem di Indonesia sudah begitu baik. Maka, apa yang terjadi apakah dapat dikatakan adalah sistim birokrasi nya yang tidak baik, sehingga memberikan peluang bagi oknum itu sendiri. 

Pada dasarnya, yang menjadi dugaan bahwa yang begitu memahami sistem dan ditambah lagi mereka yang mengatur kebijakan, maka ada peluang-peluang untuk mereka gunakan untuk memunculkan otonomi daerah negative ini.

Mengapa otonomi daerah menjadi peluang? Pada masa era reformasi yang diterapkan memberikan harapan bagi pemerintah daerah diseluruh Indonesia memiliki kewenangan terutama untuk mengembangkan ekonomi dan potensi daerah, seperti sumber daya alam. Dan dampaknya diharapkan memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Tetapi disisi lain otonomi daerah menjadi pundi-pundi uang bagi koruptor. Kekuasaan yang ada kepada para kepada daerah merangsang para pengusaha, birokrasi dan politisi berlomba-lomba meraih posisi ini untuk memperkaya diri. Sehingga, tidak mengherankan jika kepada daerah yang dipenuhi orang-orang tersebut tidak memiliki tanggung jawab kepada public.

Dari desentralisasi ini, mungkin akan berdampak pada sistim birokrasi di Indonesia? Apakah ini sudah baik atau tidak. Sistem reformasi birokrasi di Indonesia, jika seperti ulasan diatas, tentunya akan memberikan efek yang negative bagi negara, dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap negara ini. Seperti kasus yang dihebohkan saat ini yaitu beberapa kepala daerah dan Ketua MK[1].

Persoalan yang melanda kehebohan di Negara ini memberikan kesan yang tidak baik bagi penegakan  hukum di Negara ini. Dimana-mana, pundi-pundi serta oknum seperti itu begitu beredar luas dalam birokrasi di Indonesia. Sangat disayangkan, sejarah panjang selama ini telah mencoreng akan keagungan lembaga yang dihormati tersebut.

Pusat mempunyai wewenang akan kontrol yang kuat terhadap wilayah-wilayah yang ada di Indonesia. Tetapi, tidak cukup hanya itu saja. Lemahnya kontrol bagi penguasa, penegakan hukum, akan secara tidak langsung merusak sistem reformasi dan birokrasi di Indonesia. Jika diketahui Negara ada itu karena adanya rakyat. Bagaimana bisa kepercayaan rakyat dipungkiri begitu saja.

Pada UU No 22 tahun 1999[2] tentang otonomi daerah pada tatarannya masih lemah. Mungkin oknum-oknum yang berperan penting pada otonomi daerah terhanyut dalam pundi-pundi daerahnya sendiri. 

Tidak diherankan juga, jika konflik sumber daya alam di setiap  daerah  menjadi satu persoalan yang serius. Kemerosotan suatu otonomi daerah tidak lepas dari oknum yang tidak bertanggungjawab. Melupakan kewajibannya begitu saja, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat menjadi salah satu catatan bagi pemerintahan yang baik dan bersih.

Pemerintah yang baik atau good governance memiliki  beberapa nilai penting, yaitu[3] :

1.      Visi Strategis yang mengarah pada visi dan misi suatu kabupaten / kota.

2.      Transparansi yang menyediakan informasi publik secara terbuka

3.      Responsivitas yang dapat tanggap terhadap masalah , kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

4.      Keadilan yang memberikan semua orang kesempatan dalam meningkatkan atau memperbaiki kesejahteraannya.

5.      Konsensus yang berperan menjembatani aspirasi masyarakat guna mencapi persetujuan bersama demi kepentingan masyarakat.

6.      Efektifitas dan Efisiensi yang memenuhi kebutuhan masyarakat dan memanfaantkan sumber daya dnegan cara yang baik.

7.      Akuntabilitas bertanggung jawab kepada public dari setiap aspek yang berkaitan dengan kinerja suatu lembaga.

8.      Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi, memberikan kebebasan terhadap rakyay untuk berkumpul dan berorganisasi.

9.      Penegakan Hukum, memberikan keamanan bagi masyarakat

10.  Demokrasi

11.  Kerja sama dengan organisasi masyarakat, saling berkerja sama dalam meecahkan persoalan dimasyarakat.

12.  Komitmen pada pasar, mendorong kebijakan yang berorientasi pada pasar.

13.  Komitmen pada lingkungan, meperhatikan masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.
14.  Desentralisasi, mengembagkan dan membudayakan unit kelembangan lokal agar dapat mengambil kebijakan public sesuai dnegan kebutuhan dan situasi lokal.

Good governace seperti diatas merupakan salah satu nilai-nilai yang harus dijaga di setiap jajaran otonomi daerah. Meskipun tanpa disadari pola pikir dapat menjadi pengaruh besar untuk melanggar nilai-nilai tersebut. Keterkaitannya otonomi daerah pada pemerinahan yang baik, menjadi salah satu penilaian bagi reformasi birokrasi di Indonesia juga.

Menciptakan pemerintah yang baik dan bersih tentunya bukan belajar untuk korupsi, melainkan bagaimana dengan sosialisasi dapat mengupayakan program pemerintah dalam memberantas korupsi dengan tahap pencegahan. Hal ini dikarenakan korupsi masih menjadi persoalan yang serius di Indonesia karena korupsi sudah melanda disegala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas, sistematis dan terorganisir.


[2] Buku UT, Kewarganegaraan. Pada modul 8.22
[3] Buku UT, Kewarganegaraan. Pada modul 8.30

0 comments

Daily Journal

Recent Posts Widget
close