Bagaimana Keberlangsungan Hidup, Politik Budaya Di Kalimantan Barat ?

8/08/2021

Kemajuan para suku di Indonesia, dihasilkan dari asimilasi budaya yang menghasilkan buah-buah genetika yang rusak dan busuk. Seperti Orang Batak Silaban, Marpaung, Jawa - Malau dari hasil asimilasi seksualitas mereka selama di Pontianak, dalam kehidupan sosial mereka diberbagai wilayah di Kota besar di Indonesia, seperti DKI Jakarta, Surabaya, dan Sumatera nantinya 1980an-2021.

Kehidupan mereka yang menarik seperti orang yang memiliki peran penting sebagai suku, dan perusak aspek pendidikan dan kesehatan orang Tionghoa masa - masa modern ini (2000-2021), ketika itu telah tercatat sejarah dan kehidupan budaya mereka selama di Pontianak, Kalimantan Barat. 

Hal ini tampak bagaimana mereka memperoleh sistem ekonomi budaya, dan kehidupan mereka semasa hidup hingga saat melalui pembangunan pendidikan (Gubernur Oevang Oeray 1967) yang dibanggakan, hingga sistem ekonomi budaya yang dirampas misalnya pada konflik sosial ketika itu.

Kepetingan Ekonomi Dan Agama 

Hal ini tampak dengan aspek asimilasi budaya, yang dibuat guna membuat konflik, antar suku, dan berbagai hal terkait dengan agama (Islam – Protestan) bagaimana mereka hidup dan tinggal di berbagai wilayah, dan dilingkungan keluarga misalnya. Protestan (Sihombing, Silaban). 

Dengan bergeliat untuk asimilasi pada budaya Tionghoa, guna mendapatkan sistem ekonomi politik di lingkungan masyarakat, dan keluarga, dari hasil konflik di buat, maka spritualitas menjadi penting untuk menjadi peningkatan kehidupan beragama mereka, hasil dari resistensi pada sejarah agama Katolik di Indonesia saat ini. 

Cara dan strategi mereka selama hidup berkeluarga, dan bertetangga tampak dengan konflik sosial yang mereka buat, antara Jan, Batak, Dayak dan Jawa maka berbagai aktivitas dan drama konflik sosial dimainkan dalam kehidupan berkeluarga, hal ini tidak lepas dari masalah mereka berkehidupan dan berbudaya sebagai orang Kriminal (Suku, Orang Indonesia).

Metode digunakan adalah pada konsumsi makanan (babi) konon katanya jika memakannya akan Gila, konsep itu yang digunakan oleh orang Islam Jawa, Serta Dayak dan Batak pada konflik sosial yang diciptakan ketika itu di Gajah mada Pontianak, Kalimantan Barat, dengan konflik saat ini terhadap pembangunan Nasional RI.

Hal ini bermula dari ketidaksenangan orang-orang terhadap berbagai sistem ekonomi, budaya, dan perebutan kekuasaan oleh politik PDI Perjuangan dan hasil koalisi Golkar, Demokrat pada periode 2008-2018 ketika itu, tanpa menyadari siapa diri mereka, suatu penyadaran terhadap para suku dan kebudayaan yang baik di Indonesia, memungkinkan adanya perjuangan kelas, dan perusak tatanan sosial.

Suatu pandangan dan gambaran yang menarik, dalam pembahasan sistem ekonomi, budaya, dan asimilasi selama di Pontianak dan pembangunan manusia yang tercipta, tanpa menyadari mereka siapa, dan dari mana keberadaan mereka. 

Perkampungan Dan Konflik Seksualitas

Genetika (Batak – Jawa), (Dayak – Jawa), rencana konflik yang dibuat oleh Gubernur Drs. Cornelis, MH, dan Sutarmidji M.H  pada partai PDI Perjuangan, PPP, dan Golkar. Bagaimana mereka berlindung dibalik hukum dan agama, dan tampak mereka hidup di masyarakat RI.

Berbagai sistem sosial itu, menuai berbagai sistem sosial, politik, dan budaya yang seringkali menjadi dasar akan kehidupan mereka sebenarnya, darimana mereka memperoleh, dan berbudaya selama pada sebelumnya hingga sekarang, memungkinkan telah direncanakan oleh oknum mereka. 

Pada suatu budaya massa guna mengakses ekonomi, pajak perusahaan (Asing dan Lokal), pedagang, dan pekerja, tanpa memiliki budaya malu pula, terhadap berbagai persoalan sosial, ekonomi dan budaya mereka perbuat.

Penyadaran akan sistem sosial itu muncul dengan berbagai stigma, seperti makan orang yang merupakan hasil penciptaan leluhurnya, dan agama yang menerapkan mereka untuk hidup berlanjut. Ketika berbagai konflik sosial terjadi, di Kab. Sintang pada masa 1970an (Jawa, Dayak, Tionghoa). 

Juga demikian yang dilangsungkan oleh para orang Flores, pendidik, birokrasi, serta aspek lainnya terjadi hendaknya dipahami keterlibatan Tokoh agama Katolik, dalam perebutan kekuasaan ketika itu Golkar (Jakarta- Kalimantan Barat) dan Tionghoa pada aspek ekonomi, keluarga dan masyarakat.

Strategi penghancuran mereka adalah, dengan pada aspek pekerjaan, misalnya dalam hal ini jelas bagaimana mereka menggunakan kitab suci sebagai alat perang mereka dalam berkehidupan budaya dan agama. Itu adalah kecurangan masyarakat Indonesia, dalam memahami agama (Indonesia) berkehidupan berbangsa dan Negara, serta agama Katolik, Islam, ketika itu.

0 comments

Daily Journal

Recent Posts Widget
close