Hubungan antarkelompok dalam suatu masyarakat selalu menarik perhatian banyak orang. Kerukunan dan konflik menjadi dua ukuran yang silih berganti digunakan untuk kadar dari hubungan sosial itu. Kerukunan dan konflik dalam masyarakat ibarat satu koin yang memiliki sisi. Satu sisi adalah bidang kerukunan dan di sisi yang lain adalah bidang konflik tetapi bidang itu sama-sama ada dalam satu koin.
Pada kenyataannya, pada masyarakat dunia selalu ada kedua hal tersebut, pada satu masyarakat terlihat sedang giat-giatnya membangun kebersamaan demi mencapai tujuan bersama, tetapi di masyarakat yang lainnya dijumpai adanya konflik. Dalam hal ini Apartheid menunjuk pada satu realitas sosial di mana di dalam suatu masyarakat terdapat pemisahan sosial (Social Segregation) atau tepatnya adalah adanya pemisahan rasial (rasial segregation), seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
Sejak pertengahan tahun 1990-an, dikawasan Afrikas Selatan mencuat isu apartheid dimana terdapat kebijakan pemerintah dan membatasi pembauran antara kelompok orang kulit putih yang minoritas secara kuantitas dengan kelompok orang nonkulit putih (negro) yang mayoritas tetapi kurang mendapatkan akses terhadap sumber-sumber kekuasaan, sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Kebijakan ini memunculkan konflik dimana kaum non-kulit putih menjadi korban, mengendalikan kondisi politik dan distribusi sumber daya serta kehidupan. Kondisi ini masih tetap bertahan hingga sekarang. Praktik Apartheid dunia misalnya, dapat dilihat secara structural melalui pemilahan jumlah penduduk dunia dimana ada sepertiga kelompok orang kulit putih dan tidak.
Dalam hal ini, Apartheid dunia merupakan realitas struktur masyarakat dunia yang memperlihatkan kombinasi antagonistic antara pembedaan secara ras, budaya, sosial, dan politik, ekonomi, politik dan hukum. Dengan demikian, apartheid dunia menyebabkan hancurnya struktur sosial ekonomi dan lembaga kemasyarakat lainnya, dan menyebabkan sekelompok orang kehilangan hak-hak hidup mereka.
0 comments