Diplomasi Pembangunan Rakyat Jakarta, Pada Sistem Kelas Sosial

5/24/2022

Pelajari mengenai Kehidupan sosial ekonomi masyarakat jakarta pada umumnya?dapat menjadi pertanyaan pertama, mengenai Bagaimana konsep pembangunan yang ditawarkan oleh kunjungan-kunjungan tersebut? Apakah anggaran pembangunan yang digelontorkan untuk studi banding atau diplomasi ke luar negeri setimpal dengan hasil yang didapatkan? Siapakah yang lebih diuntungkan dari kunjungan kerja tersebut?

Sebagai sebuah strategi, kunjungan kerja ke luar negeri punya kontribusi yang positif terhadap kemajuan ibukota sebagai nadi ekonomi negara. Namun, barangkali paradigma pembangunan yang digunakanlah yang perlu dikritisi. Paradigma pembangunan yang digunakan mengandung ketidakadilan yang hakiki terhadap kepentingan-kepentingan kelas tertentu.

Menurut Para Ahli, Pembangunan Dan Konflik Sosial

Mansour Fakih memperkenalkan sebuah teori pembangunan yang dilihat dari perspektif kelas. Yang dimaksudkan dengan kelas adalah posisi secara sosial anggota masyarakat tertentu dalam konteks lingkungannya. Sebagaimana gagasan kelas Karl Marx, ia memperkenalkan tiga macam kelas masyarakat; kelas pekerja (buruh, pekerja kasar, marginal), kelas menengah (pedagang kecil) dan kelas atas (kapitalis).

Sementara, dalam sistem ini, posisi kapitalis lebih diuntungkan secara ekonomi karena penguasaanya atas sarana produksi dan kapital (modal). Oleh sebab itu, pembangunan harus berorientasi pada masalah kelas-kelas sosial masyarakat.

Paradigma pembangunan yang digunakan oleh Anies Baswedan melalui berbagai kunjungan kerjanya lebih menguntungkan masyarakat kelas atas atau kapitalis. Para kapitalis inilah, baik lokal maupun asing, yang memetik hasilnya. Rakyat kelas bawah yang kurang punya akses terhadap buah-buah kebijakan publik harus rela terus mengais remah-remah sisa keuntungan dari kelas atas.

Mekanisme ini, sebagaimana diyakini oleh Adam Smith, dirasa ideal untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi kelas bawah. Akumulasi profit dari para kapitalis diyakini bisa memenuhi kebutuhan kelas bawah sebagaimana dibimbing oleh invisible hand. Keuntungan kelas atas menetes ke bawah (trickle down) secara otomatis.

Konflik kepentingan antar kelas menjadi epidemi yang sulit untuk disembuhkan. Ia merupakan sebuah borok yang timbul dari modernitas. Bahkan, konflik abadi ini diterima sebagai sebuah fakta terberi yang tidak bisa diubah. Modernisasi mewariskan gen konflik antar kelas dalam dirinya. Cita-cita kaum sosialis yang memperhatikan porsi kesejahteraan sama bagi semua individu justru dilihat sebagai utopi yang salah arah.

Konflik ini semakin diperkeruh oleh kebijakan-kebijakan politik-ekonomi pemerintah. Kebijakan-kebijakan tersebut seringkali bukan sebuah usaha netral yang progresif melainkan penuh muatan kepentingan. Perkawinan antara kepentingan pemerintah dan kapitalis melahirkan rezim oligarki. Dalam rezim yang demikian, kelas bawah hanya dipandang sebagai onderdil kecil atas seluruh sistem oligarki.

Konsep pembangunan yang ingin ditawarkan oleh Anies hanya memberi peluang bagi pelaku ekonomi swasta yang bermodal besar. Hal ini sejalan dengan dampak yang dihasilkan, yakni lahirnya “kesenjangan konstan”. Kesenjangan ini bisa terlihat secara teoretis melalui rasio gini atau bisa dilihat sendiri fakta yang terlihat mata.

Masyarakat kelas bawah di Jakarta tetap terkungkung dalam realitas kebobrokannya. Kondisi-kondisi sosial setempat tidak banyak berubah. Tugas-tugas politik masih perlu dibenahi. Distribusi kemakmuran masih timpang di berbagai lini kehidupan.

Bahkan pemerintah pusat sudah merencanakan pemindahan ibukota sebagai respon atas permasalahan Jakarta yang terus menumpuk. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan aposteriori ini, rakyat Jakarta berhak mempertanyakan arah kebijakan pembangunan publik yang didanai oleh pajak rakyat sendiri. Efektivitas penggunaan dana masyarakat untuk pembangunan perlu diberi prioritas yang transparan.

Secara ekonomi, semua kelas masyarakat bertumbuh bersama dengan kecepatan yang sama. Namun, pada saat yang sama kesenjangan pun tetap terpelihara dengan tingkat kestabilan yang mengejutkan. Pada fase ini pertanyaan kritis yang perlu dilontarkan adalah apakah ini bentuk keselarasan atau ketidakselarasan pembangunan? Sekalipun semua kelas tumbuh bersama-sama, ditilik dari segi ekonomis, tapi ini tidak bisa dijadikan jaminan keselarasan pembangunan sejauh penyebaran manfaatnya lebih besar lari ke kantong kelas kapitalis.

Dalam perspektif ini, konsep pembangunan dan keterbelakangan berfungsi sebagai dua sisi dalam sebuah mata koin yang sama. Artinya, proses pembangunan yang bakal terealisasi melalui observasi dan diplomasi ke luar negeri berdampak pada semakin terpinggirkannya kelas periferi (pinggiran) di Jakarta secara ekonomi dan politis.

Kunjungan ke beberapa negara maju ibarat sebuah undangan bagi kapitalis asing untuk menanam investasinya di ibukota dan menekan kelas ekonomi domestik. Situasi ini ibarat membiarkan serigala dan domba bertarung. Hasilnya sudah bisa dipastikan, yakni kemenangan serigala dalam sistem pasar bebas neoliberal. Serigala-serigala yang menikmati kemenangan pada akhirnya akan mulai membangun fondasi imperialisme ekonomi.

Kritikan Pembangunan Di Jakarta

Sebagai masyarakat yang kritis kita harus melihat setiap kebijakan pemerintah yang menyasar aspek pembangunan publik. Kebijakan tersebut haruslah berorientasi dan berpijak pada bonum commune masyarakat, dalam hal ini masyarakat Jakarta dan rakyat Indonesia pada umumnya. Apabila neraca yang kita gunakan untuk mengukur pola pembangunan ternyata condong kepada keuntungan sejumlah kecil kapitalis, maka kebijakan itu harus direstrukturisasi dan dievaluasi.

Frekuensi kunjungan kerja ke negara asing harus paralel dengan kemajuan yang bisa diraih oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Gebrakan atau konsensus diplomasi internasional yang dihasilkan haruslah bersifat produktif secara internal. Strategi diplomasi perlu mempertimbangkan kompromi-kompromi yang merepresentasikan suara rakyat dan kesejahteraan jangka panjang. Akan menjadi sedemikian sia-sia apabila semua kunjungan ke luar negeri tersebut hanya berimbas pada kenaikkan tingkat pengeluaran daripada pemasukan.

Lantas model pembangunan seperti apa yang diharapkan memenuhi keadilan kelas sosial? Catatan kritis apa yang perlu diperhatikan? Hemat saya ada tiga aspek yang sangat esensial untuk diperhatikan. Pertama, kebijakan yang transparan dan akuntabel. Setiap program politik yang bermuara pada kepentingan publik harus dijalankan sesuai prinsip transparansi.

Publik sebagai subjek pembangunan perlu memahami dan terlibat dalam setiap kebijakan. Paling kurang, informasi dan pertanggungjawaban politis terhadap agenda pemerintahan harus disajikan secara objektif, realistis, akuntabel dan mudah dipahami. Mekanisme ini mampu melibatkan partisipasi masyarakat kelas bawah untuk bersikap kritis. Selain itu rakyat menjadi tahu untuk agenda apa saja pajak rakyat diergunakan.

Kedua, kerjasama yang terbentuk berkat diplomasi dalam bidang ekonomi harus bergerak dalam koridor simbiosis mutualisme. Investasi asing harus pula mentransfer teknologi, skill dan modal. Transfer pengetahuan bisa membantu membangun industri lokal dan menciptakan lapangan kerja bagi anak-anak negeri. 

Dengan demikian, pasar Jakarta bukan hanya sekedar penyedia pekerja berupah murah bagi korporasi asing, melainkan menjadi inisiator dan perancang industri kreatif sesuai kultur dan kemampuan masyarakatnya. Ketiga, pembangunan yang berkeadilan. Strategi apa pun yang dicapai melalui program pemerintahan seperti diplomasi dengan negara lain harus memberdayakan masyarakat kelas bawah. 

Kelompok-kelompok ekonomi yang menempati posisi dasar dalam hierarki sosial perlu menikmati sebagian keuntungan dari program kebijakan publik. Mereka tidak sekedar mengonsumsi remah-remahnya saja, melainkan benar-benar menyantap sepotong penuh kue pembangunan.

Kesetaraan distribusi ekonomi adalah obat terbaik melawan kesenjangan konstan masyarakat. Dengan cara demikian, masyarakat Jakarta secara khusus dan warga negara Indonesia pada umumnya mampu mengatasi persoalan rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan kapitalis asing, 2019 - 2022.

 

0 comments

Daily Journal

Recent Posts Widget
close