Pelajari mengenai Kehidupan sosial ekonomi masyarakat jakarta pada umumnya?dapat menjadi pertanyaan pertama, mengenai Bagaimana konsep pembangunan yang ditawarkan oleh kunjungan-kunjungan tersebut? Apakah anggaran pembangunan yang digelontorkan untuk studi banding atau diplomasi ke luar negeri setimpal dengan hasil yang didapatkan? Siapakah yang lebih diuntungkan dari kunjungan kerja tersebut?
Sebagai
sebuah strategi, kunjungan kerja ke luar negeri punya kontribusi yang positif
terhadap kemajuan ibukota sebagai nadi ekonomi negara. Namun, barangkali
paradigma pembangunan yang digunakanlah yang perlu dikritisi. Paradigma
pembangunan yang digunakan mengandung ketidakadilan yang hakiki terhadap
kepentingan-kepentingan kelas tertentu.
Menurut
Para Ahli, Pembangunan Dan Konflik Sosial
Mansour
Fakih memperkenalkan sebuah teori pembangunan yang dilihat dari perspektif kelas.
Yang dimaksudkan dengan kelas adalah posisi secara sosial anggota masyarakat
tertentu dalam konteks lingkungannya. Sebagaimana gagasan kelas Karl Marx, ia
memperkenalkan tiga macam kelas masyarakat; kelas pekerja (buruh, pekerja
kasar, marginal), kelas menengah (pedagang kecil) dan kelas atas (kapitalis).
Sementara,
dalam sistem ini, posisi kapitalis lebih diuntungkan secara ekonomi karena
penguasaanya atas sarana produksi dan kapital (modal). Oleh sebab itu,
pembangunan harus berorientasi pada masalah kelas-kelas sosial masyarakat.
Paradigma pembangunan yang digunakan oleh Anies
Baswedan melalui berbagai kunjungan kerjanya lebih menguntungkan masyarakat
kelas atas atau kapitalis. Para kapitalis inilah, baik lokal maupun asing, yang
memetik hasilnya. Rakyat kelas bawah yang kurang punya akses terhadap buah-buah
kebijakan publik harus rela terus mengais remah-remah sisa keuntungan dari
kelas atas.
Mekanisme ini, sebagaimana diyakini oleh Adam Smith,
dirasa ideal untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi kelas bawah. Akumulasi
profit dari para kapitalis diyakini bisa memenuhi kebutuhan kelas bawah
sebagaimana dibimbing oleh invisible hand. Keuntungan kelas atas menetes ke
bawah (trickle down) secara otomatis.
Konflik
kepentingan antar kelas menjadi epidemi yang sulit untuk disembuhkan. Ia
merupakan sebuah borok yang timbul dari modernitas. Bahkan, konflik abadi ini
diterima sebagai sebuah fakta terberi yang tidak bisa diubah. Modernisasi
mewariskan gen konflik antar kelas dalam dirinya. Cita-cita kaum sosialis yang
memperhatikan porsi kesejahteraan sama bagi semua individu justru dilihat
sebagai utopi yang salah arah.
Konflik ini semakin diperkeruh oleh
kebijakan-kebijakan politik-ekonomi pemerintah. Kebijakan-kebijakan tersebut
seringkali bukan sebuah usaha netral yang progresif melainkan penuh muatan
kepentingan. Perkawinan antara kepentingan pemerintah dan kapitalis melahirkan
rezim oligarki. Dalam rezim yang demikian, kelas bawah hanya dipandang sebagai
onderdil kecil atas seluruh sistem oligarki.
Konsep pembangunan yang ingin ditawarkan oleh Anies
hanya memberi peluang bagi pelaku ekonomi swasta yang bermodal besar. Hal ini
sejalan dengan dampak yang dihasilkan, yakni lahirnya “kesenjangan konstan”.
Kesenjangan ini bisa terlihat secara teoretis melalui rasio gini atau bisa
dilihat sendiri fakta yang terlihat mata.
Masyarakat kelas bawah di Jakarta tetap terkungkung
dalam realitas kebobrokannya. Kondisi-kondisi sosial setempat tidak banyak
berubah. Tugas-tugas politik masih perlu dibenahi. Distribusi kemakmuran masih
timpang di berbagai lini kehidupan.
Bahkan
pemerintah pusat sudah merencanakan pemindahan ibukota sebagai respon atas
permasalahan Jakarta yang terus menumpuk. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan
aposteriori ini, rakyat Jakarta berhak mempertanyakan arah kebijakan
pembangunan publik yang didanai oleh pajak rakyat sendiri. Efektivitas
penggunaan dana masyarakat untuk pembangunan perlu diberi prioritas yang
transparan.
Secara ekonomi, semua kelas masyarakat bertumbuh
bersama dengan kecepatan yang sama. Namun, pada saat yang sama kesenjangan pun
tetap terpelihara dengan tingkat kestabilan yang mengejutkan. Pada fase ini
pertanyaan kritis yang perlu dilontarkan adalah apakah ini bentuk keselarasan
atau ketidakselarasan pembangunan? Sekalipun semua kelas tumbuh bersama-sama,
ditilik dari segi ekonomis, tapi ini tidak bisa dijadikan jaminan keselarasan
pembangunan sejauh penyebaran manfaatnya lebih besar lari ke kantong kelas
kapitalis.
Dalam
perspektif ini, konsep pembangunan dan keterbelakangan berfungsi sebagai dua
sisi dalam sebuah mata koin yang sama. Artinya, proses pembangunan yang bakal
terealisasi melalui observasi dan diplomasi ke luar negeri berdampak pada
semakin terpinggirkannya kelas periferi (pinggiran) di Jakarta secara ekonomi
dan politis.
Kunjungan ke beberapa negara maju ibarat sebuah
undangan bagi kapitalis asing untuk menanam investasinya di ibukota dan menekan
kelas ekonomi domestik. Situasi ini ibarat membiarkan serigala dan domba
bertarung. Hasilnya sudah bisa dipastikan, yakni kemenangan serigala dalam
sistem pasar bebas neoliberal. Serigala-serigala yang menikmati kemenangan pada
akhirnya akan mulai membangun fondasi imperialisme ekonomi.
Kritikan Pembangunan Di Jakarta
Sebagai masyarakat yang kritis kita harus melihat
setiap kebijakan pemerintah yang menyasar aspek pembangunan publik. Kebijakan
tersebut haruslah berorientasi dan berpijak pada bonum commune masyarakat,
dalam hal ini masyarakat Jakarta dan rakyat Indonesia pada umumnya. Apabila
neraca yang kita gunakan untuk mengukur pola pembangunan ternyata condong
kepada keuntungan sejumlah kecil kapitalis, maka kebijakan itu harus
direstrukturisasi dan dievaluasi.
Frekuensi kunjungan kerja ke negara asing harus
paralel dengan kemajuan yang bisa diraih oleh masyarakat kelas menengah ke
bawah. Gebrakan atau konsensus diplomasi internasional yang dihasilkan haruslah
bersifat produktif secara internal. Strategi diplomasi perlu mempertimbangkan
kompromi-kompromi yang merepresentasikan suara rakyat dan kesejahteraan jangka
panjang. Akan menjadi sedemikian sia-sia apabila semua kunjungan ke luar negeri
tersebut hanya berimbas pada kenaikkan tingkat pengeluaran daripada pemasukan.
Lantas model pembangunan seperti apa yang diharapkan
memenuhi keadilan kelas sosial? Catatan kritis apa yang perlu diperhatikan?
Hemat saya ada tiga aspek yang sangat esensial untuk diperhatikan. Pertama,
kebijakan yang transparan dan akuntabel. Setiap program politik yang bermuara
pada kepentingan publik harus dijalankan sesuai prinsip transparansi.
Publik sebagai subjek pembangunan perlu memahami dan
terlibat dalam setiap kebijakan. Paling kurang, informasi dan
pertanggungjawaban politis terhadap agenda pemerintahan harus disajikan secara
objektif, realistis, akuntabel dan mudah dipahami. Mekanisme ini mampu
melibatkan partisipasi masyarakat kelas bawah untuk bersikap kritis. Selain itu
rakyat menjadi tahu untuk agenda apa saja pajak rakyat diergunakan.
Kedua, kerjasama yang terbentuk berkat diplomasi dalam bidang ekonomi harus bergerak dalam koridor simbiosis mutualisme. Investasi asing harus pula mentransfer teknologi, skill dan modal. Transfer pengetahuan bisa membantu membangun industri lokal dan menciptakan lapangan kerja bagi anak-anak negeri.
Dengan demikian, pasar Jakarta bukan hanya sekedar penyedia pekerja berupah murah bagi korporasi asing, melainkan menjadi inisiator dan perancang industri kreatif sesuai kultur dan kemampuan masyarakatnya. Ketiga, pembangunan yang berkeadilan. Strategi apa pun yang dicapai melalui program pemerintahan seperti diplomasi dengan negara lain harus memberdayakan masyarakat kelas bawah.
Kelompok-kelompok ekonomi yang menempati posisi dasar dalam hierarki sosial perlu menikmati sebagian keuntungan dari program kebijakan publik. Mereka tidak sekedar mengonsumsi remah-remahnya saja, melainkan benar-benar menyantap sepotong penuh kue pembangunan.
Kesetaraan distribusi ekonomi adalah obat terbaik
melawan kesenjangan konstan masyarakat. Dengan cara demikian, masyarakat
Jakarta secara khusus dan warga negara Indonesia pada umumnya mampu mengatasi
persoalan rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan kapitalis asing, 2019 - 2022.
0 comments