Mengutip catatan : wisuda di Universitas Mulia
Balikpapan.
Ke sebelah mananya?
Ke pinggirnya.
Belum bisa ke tengahnya? Belum ada jalan ke situ.
Dan lagi saya juga belum tahu --di koordinat mana tengahnya itu.
"Sudah 2.000 orang minta pindah KTP ke Balikpapan,"
ujar Wali Kota Rizal Effendi --saat memberi sambutan di acara wisuda
Universitas Mulia Balikpapan.
"Begitu banyak tamu yang ke Balikpapan belakangan
ini," ujar Rizal. "Sampai anggaran kota untuk makan-minum tidak cukup
lagi".
Untuk ke ibu kota Indonesia itu tidak ada jalan lain: harus ke
Balikpapan dulu. Lalu naik mobil ke arah Samarinda.
Di kilometer 38 ada jalan kecil. Ke arah kiri. Melewati hutan.
Dan kebun sawit. Itulah jalan menuju Sepaku --sebuah kecamatan yang hanya
terdiri dari enam desa.
Kecamatan Sepaku masuk wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara.
Lebih 10 orang Balikpapan saya tanya: di mana pusat ibu kota Indonesia itu.
Semua menjawab: Sepaku.
Kecamatan itu terbentuk oleh transmigrasi. Enam desa itu
semuanya desa transmigrasi. Dari Jawa. Juga Nusa Tenggara Barat. Tahun 1970-an.
Maka di ibu kota Indonesia ini budayanya budaya Jawa. Bahasanya
bahasa Jawa.
Dari tiga calon lokasi ibu kota, memang di Sepaku-lah yang tidak
ada masalah etnisitas. Tidak akan ada gejolak dari suku asli. Basis suku Dayak
jauh dari sini. Demikian juga suku asli Kutai.
Saya tidak sampai ke Sepaku. Saya sudah pernah ke sana. Dari
simpang kilometer 38 tadi masih perlu satu jam. Bukan karena jauhnya. Melainkan
kondisi jalannya. Hanya beberapa kilometer yang sudah diaspal. Selebihnya masih
jalan kelapa sawit.
Para transmigran itu belakangan memang mengubah jalan hidup:
banyak yang beralih menanam sawit. Hasil panennya diangkut ke pinggir jalan di
dekat kilometer 38 itu. Saya sering melihat tumpukan sawit di pinggir jalan
itu. Saya hafal jalan Balikpapan-Samarinda ini: kalau ke kampung istri harus
lewat jalan itu. Dulu.
Khusus untuk perjalanan kemarin saya tidak lewat jalan itu. Saya
diizinkan mencoba jalan tol. Sepanjang 100 km. Yang sudah hampir jadi.
0 comments