Covid19 Kontestasi Pengetahuan Dan Prilaku Manusia

9/10/2020

Pengetahuan atau informasi memegang peran penting untuk mempengaruhi perilaku manusia. pemikir ilmu sosial kritis Michel Foucault dalam hal ini melihat bahwa pengetahuan sebagai sebuah ‘kekuatan’ (power) yang mendasari perilaku manusia. Tidak ada pemegang otoritas tunggal dalam kontestasi pengetahuan. Sehingga Pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat awam pun memiliki porsi masing-masing dalam otoritas pengetahuan.

Pengetahuan yang disampaikan pun akan mengalami proses reproduksi sesuai dengan nalar dan akal budi manusia. ‘Output’ dari reproduksi tersebut boleh jadi mendukung perilaku ketaatan pada kebijakan COVID-19, atau justru mengakibatkan resistensi.

Dengan demikian, bagaimana COVID-19 dinarasikan maupun dibingkai (framing) sebagai sebuah pengetahuan akan menentukan bagaimana individu merespons terhadap wabah virus tersebut dan kebijakan yang menyertainya.

Dengan, adanya Kebijakan social/physical distancing dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mulai diterapkan di beberapa daerah. Hanya saja, efektivitasnya untuk mengurangi eskalasi penularan COVID-19 belum terbukti.

Secara Antropologis, wabah COVID-19 tidak hanya menyangkut aspek biologis virus tetapi juga biososial, yang terkait dengan upaya mengubah perilaku manusia untuk ‘patuh’ (compliant) pada aturan. Ada pula konteks budaya yang sangat beragam dan kompleks yang melandasi suatu perilaku. Tidak kalah penting adalah ide/pengetahuan (knowledge).

Pengetahuan mempunyai kekuatan untuk mengatur perilaku manusia. Pengetahuan pun relative tidak ada mutlak benar atau salah, tergantung proses internalisasi manusia dalam konteks budaya. Maka, berbagai hal terkait factor budaya akan diketahui melalui peningkatannya suatu Negara dalam membangun sumber daya manusianya.

Selama proses yang berlangsung dengan pengertian terhadap konteks budaya yang dalam akan dilalui dengan berbagai pengetahuan yang detail terhadap manusia yang berperan dalam hal ini memiliki dinamika budaya yang memang berbeda.

Setiap Negara, memang memiliki sumber daya manusia yang berbeda, disesuaikan dengan budaya suatu Negara dalam menerapkan dan mempersiapkan pembangunan apa yang akan disampaikan bagi tiap Negara untuk mencapai yang baik sebagai manusia.

Dalam konteks negara, pemerintah mempunyai otoritas penuh dalam menarasikan pengetahuan tentang COVID-19 sehingga dapat diinternalisasikan ke masyarakat yang beragam latar belakang budayanya.

Bagi masyarakat dengan tingkat sosial-ekonomi ‘yang lebih baik’, over-estimation atau ‘over-interpreting’ pengetahuan berwujud ke rasa panik dan takut terhadap ‘nature’ dari virus ini dan melihatnya sebagai sebuah bahaya sehingga mereka akan patuh pada kebijakan, terlepas dari inkonsistensi dan kontradiksi yang menyertainya.

Filosofi klasik dari Jawa ‘mangan ra mangan sing penting kumpul’ atau makan atau tidak makan yang penting kumpul ibarat hidup lagi dan dimanifestasikan. Filosofi dari mudik ini harus benar-benar dipahami pembuat kebijakan; tidak semata-mata melarang namun tidak bisa mengompensasi kebutuhan material maupun non-material pemudik.

 

Kulture dan Order Semu : Model of And Model For

Aspek pengetahuan, lalu bagaimana kaitannya dengan formulasi kebijakan yang kontradiktif dan inkonsisten, yang berdampak pada ketidaktaatan masyarakat? Secara Antropologis, ‘model of’ dan ‘model for’ dari Clifford Geertz14 dapat dipakai untuk lebih dalam menjelaskan mengapa pemerintah gagal menginternalisasikan pengetahuan COVID-19 kepada masyarakat, sehingga berdampak pada ketidaktaatan pada kebijakan.

‘Model of’ dapat diartikan sebagai bagaimana manusia, termasuk pemerintah mengabstraksikan realitas sosial tentang COVID-19, antara lain adalah tentang penularan virus antar manusia; menyebabkan demam, batuk dan kematian; dunia medis kewalahan karena melonjaknya penderita; ekonomi hancur.

Di negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, faktor budaya yang ‘homogen’ menjadi sentral untuk ‘mengawal’ perilaku manusia. Masalah hakikat dari hidup manusia; karya manusia; kedudukan manusia dalam ruang waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar dan hubungan manusia dengan sesamanya sangat dijunjung tinggi.

Di Jepang, penanganan wabah COVID-19 terbantu dengan karakter yang mengakar dari budaya seperti sopan dan selalu memikirkan kebutuhan orang lain terlebih dahulu, menghargai yang lebih tua, disiplin, berdedikasi dan jujur. Bila berbuat salah atau melanggar, ada harga diri yang dipertaruhkan.

Disiplin kebersihan seperti mencuci tangan dan memakai masker sudah ditegakkan sejak lama. Di Tiongkok, ‘budaya’ yang mengakar dari nilai-nilai Konfusianisme seperti menjunjung tinggi nilainilai kebajikan, keadilan, tata aturan, berbakti, nilai kepercayaan dan nilai keberanian begitu diagungkan dan merupakan fondasi yang mendukung kemajuan sosial-ekonomi bangsa tersebut.

Pemerintah yang tegas dan cenderung otoriter ditambah dengan budaya yang kuat telah berhasil mewujudkan suatu masyarakat yang kohesif dan solid dalam menghadapi COVID-19 ini meskipun ‘kekerasan’ diterapkan untuk membangun karakter disiplin dan patuh di masyarakat. Situasi di Indonesia berbeda.

Keberagaman budaya cenderung bukan menjadi suatu modalitas, melainkan sumber perpecahan yang tidak bisa mengawal perilaku manusia melalui penerapan nilainilai baiknya. Seperti diceritakan di awal tulisan, COVID-19 telah mengerosi norma-norma sosial yang mengubah hubungan antar manusia.

 

 


0 comments

Daily Journal

Recent Posts Widget
close