Karena warna kulit dan asal keturunannya, selama masa kampanye Barack Obama banyak diwarnai sentimen rasisme. Ini tak lepas dari sejarah kelam perbudakan di Amerika Serikat. Di masa puncak perbudakan pada 1860-an, harga total dari seluruh budak di Amerika mencapai 2,7 milliar dollar.
Jajak pendapat AP-Yahoo News Poll pada September 2008, sebelum kemenangan Obama, misalnya, menunjukkan bahwa sentimen rasial masih kental dalam pikiran publik Amerika Serikat. Bahkan dalam tubuh Partai Demokrat sendiri yang notabene mengusung Obama.
Ada beberapa kata sifat positif dan negatif yang disodorkan untuk menggambarkan orang kulit hitam dalam jajak pendapat tersebut. Hasilnya, 22 persen setuju dengan kata “sombong”, 29 persen “mengeluh”, 13 persen memilih “malas”, dan 11 persen mengidentikkan dengan “tidak bertanggung jawab”.
Sepertiga lebih responden dari semua pendukung
Demokrat kulit putih dan responden independen lainnya melihat Obama tak akan
bisa memenangkan kursi Gedung Putih karena faktor rasnya. Sementara pendukung
Partai Republik yang memilih John McCain mencapai 85 persen, pendukung Partai
Demokrat yang kali ini mengusung Barack Obama hanya mencapai 70 persen saja.
Berbagai serangan berupa kampanye hitam juga
dilancarkan. Tuduhan yang dialamatkan kepada Obama adalah klaim bahwa ia bukan
warga Negara kebangsaan Amerika asli, menyerang keyakinannya bahwa ia adalah seorang
muslim, dan bukan Kristen, juga menuduh kedekatan Obama dengan Bill Ayers,
seorang yang radikal menentang keterlibatan AS dalam Perang Vietnam dengan
melakukan pemboman di sejumlah gedung publik.
Bahkan hingga 2015, di masa kepresidenannya yang
kedua, politik identitas masih dimainkan sebagian orang Amerika Serikat untuk
memojokkan Obama. Survei yang dilakukan Public Policy Polling (PPP) menyebut,
54 persen pemilih Partai Republik berpikir bahwa Obama adalah seorang
muslim.
Kecurigaan para pemilih sayap kanan
ini semakin tebal lantaran Obama jarang menunjukkan ungkapan atau pembahasan
tentang agamanya sendiri dalam tiap pidato dan penampilan publiknya. Meski
kenyataannya ia sendiri pernah mengakui bahwa dirinya adalah seorang
kristiani ketika ditanya
perihal ini.
Jempol dan Kritik Untuk Obama
Obama menghadapi situasi
perekonomian yang lesu sejak naik menjadi presiden Amerika Serikat
terseok-seok, pengangguran melonjak, jutaan orang kehilangan rumah karena
disita. Juga soal kebijakan luar negeri peninggalan rezim George W. Bush terkait
serangan ke Afghanistan dan Irak yang memperburuk citra AS di mata dunia.
Selama kampanye 2008, Obama sudah menyinggung
masalah perekonomian. Dilansir dari THE Washington Post, ia punya
standard kemajuan rakyat AS yang dilihat dari seberapa banyak mereka mendapat
pekerjaan, tabungan untuk investasi pendidikan, dan kenaikan pendapatan per
keluarga.
Setelah dua periode masa kepemimpinan Obama,
profesor hubungan internasional Harvard University Stephen M. Walt melihat
bahwa perekonomian AS cepat pulih jika dibanding negara-negara industri besar
lainnya. Lebih dari 20 juta orang Amerika yang kekurangan layanan kesehatan
kini bisa memilikinya.
Kemajuan penting lainnya adalah dalam sektor
hak-hak sipil, terutama pengakuan terhadap LGBT dan beberapa isu minoritas
lainnya. Obama mencatatkan diri sebagai presiden AS pertama yang mengakui
hak-hak kaum LGBT dan melegalkan pernikahan mereka.
0 comments