Pasca Pengunduran Soeharto Pada Tahun 1998

12/13/2020

Pasca pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan oleh B.J. Habbie, ia turut memberikan perhatian pada masalah Timor Timur. Presiden Habibie membuat berbagai pernyataan publik di mana ia menyebutkan bahwa biaya mempertahankan subsidi moneter untuk mendukung provinsi tidak diimbangi oleh manfaat terukur bagi Indonesia.

Karena analisis untung-rugi yang tidak menguntungkan ini, keputusan yang paling rasional adalah untuk provinsi yang bukan bagian dari batas asli sejak kemerdekaan 1945 di Indonesia, untuk diberikan pilihan demokratis apakah mereka ingin tetap berada di Indonesia atau tidak. Pilihan ini juga sejalan dengan program demokratisasi umum Habibie setelah era Presiden Soeharto.

Krisis moneter pun berlangsung dan berdampak pada setiap kegiatan ekonomi politik di Ibu Kota Jakarta, dengan adanya krisis pangan yang menjadi masyarakat ketika itu mesti antri dengan ruang public dalam pemenuhan sembako yang ingin dimiliki pada krisis kelaparan melanda.

Ketika itu, mahasiswa sebagai pengerak reformasi dengan adanya gambaran terhadap sistem politik di Tanah Air. Sebagai langkah tindak lanjut atas permintaan Habibie, PBB menyelenggarakan pertemuan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Portugal (sebagai otoritas kolonial sebelumnya atas Timor Timur). 

Pada tanggal 5 Mei 1999, pembicaraan ini menghasilkan “Persetujuan antara Republik Indonesia dan Republik Portugis tentang Masalah Timor Timur” yang menjabarkan rincian dari referendum yang diminta. Referendum harus diadakan untuk menentukan apakah Timor Timur akan tetap menjadi bagian dari Indonesia, sebagai Daerah Otonomi Khusus, atau terpisah dari Indonesia.

Referendum itu diorganisir dan dipantau oleh misi penjaga perdamaian yang dibentuk PBB bernama UNAMET dan 450.000 orang terdaftar untuk memilih termasuk 13.000 orang di luar Timor Timur.

Kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Portugal termasuk "Kerangka Konstitusi untuk otonomi khusus bagi Timor Timur" sebagai sebuah aneksasi. Kerangka ini akan membentuk "Daerah Otonomi Khusus Timor Timur" (DOK Timor Timur) dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

Lembaga-lembaga Daerah Otonomi Khusus Timor-Timur akan mencakup cabang eksekutif yang terdiri dari seorang gubernur (dipilih oleh dewan legislatif) dan dewan penasehat, cabang legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, peradilan independen termasuk Pengadilan negeri,

Pengadilan banding, Pengadilan banding akhir dan Kantor jaksa penuntut umum, dan kepolisian daerah. Pemerintah Indonesia tetap memegang kendali atas pertahanan, hukum ketenagakerjaan, kebijakan ekonomi dan fiskal serta hubungan luar negeri, sementara hukum Indonesia akan memiliki kesinambungan di wilayah itu.

Pemerintah otonom akan memiliki kompetensi atas semua hal yang tidak disediakan untuk Pemerintah Indonesia, termasuk hak untuk mengadopsi lambang sebagai simbol identitas. Pemerintah otonom dapat menunjuk orang-orang sebagai "identitas Timor" dan dapat membatasi hak kepemilikan tanah bagi orang-orang tanpa identitas ini.

Kode sipil tradisional juga bisa diadopsi. DOK Timor Timur dapat mengadakan perjanjian dengan pemerintah kota dan pemerintah daerah untuk tujuan ekonomi, budaya dan pendidikan. DOK Timor Timur akan berhak berpartisipasi dalam organisasi budaya dan olahraga di mana entitas non-negara lain berpartisipasi.

Maka, dengan adanya badan pemerintahan sipil yang dibentuk oleh PBB dalam rangka memelihara misi perdamaian di Timor Timur hingga kemerdekaannya secara resmi pada tanggal 20 Mei 2002.

 

 


0 comments

Daily Journal

Recent Posts Widget
close