Dialog, dan Film Soegija

4/06/2021

Menonton film sastra, merupakan seni tersendiri bagi penyuka untuk memahami dialog apa yang disampaikan, serta politik yang berdampak pada rakyat Indonesia, ketika itu. hal Ini sesuai dengan pesan Romo Soegija sendiri: “Apa artinya menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri sendiri.”

Kemudian, soal lain yang disorot adalah kebhinekaan. Ada adegan menarik di sini: saat Lingling bertanya ke Romo Soegija, “Romo, apa memang sudah kodrat kami (keturunan Tionghoa) ya untuk selalu dijarah?”.

Pesan paling pentingnya adalah  ini disisipkan di penghujung film berdurasi 115 menit ini. Saat itu, Soegija memberi pesan kepada seorang bekas pejuang kemerdekaan, “Kalau jadi politikus, jangan haus kekuasaan. Kalau tidak, nanti jadi benalunya negara.”

Bagi Romo Soegija, politik adalah soal melayani rakyat. Karenanya, seorang pemimpin harus punya mental politik, yakni melayani rakyat. Tanpa itu, pemimpin hanya akan menjadi benalu bagi negaranya.

Terakhir, sekalipun film ini berbicara tentang kisah perjuangan seorang tokoh, tetapi cara Garin Nugroho mengangkatnya ke layar-lebar sangat populer: mengalir, penuh dengan humor, sindiran-satire, dan lain-lain.

Itulah pembuka film “Soegija”. Hendrik (Wouter Braaf), seorang wartawan Belanda, ditugaskan meliput upacara pengangkatan seorang pribumi menjadi Uskup Danaba. Hendrik harus rela dicemooh oleh temannya yang serdadu, Robert (Wouter Zweers), yang terbiasa menganggap pribumi itu tak ubahnya seekor “kerbau”.

Akhirnya, kami merekomendasikan agar anda menyisipkan sedikit waktu untuk menonton film “Soegija”. Film ini sangat penting sebagai sumber inspirasi bangsa kita dan sebagai pijakan persatuan dalam kerangka mengusir imperialisme yang sedang menjajah bangsa kita saat ini

Meski mengambil setting tahun 1940-an dan perjuangan kemerdekaan, tetapi film “Soegija” seakan lebih banyak membawa pesan untuk pemimpin dan bangsa Indonesia sekarang. Paska kemerdekaan, misalnya, film ini mengangkat berbagai pergulatan paska Indonesia merdeka: tentang bagaimana mengisi kemerdekaan ini agar bisa memajukan harkat dan martabat rakyat.

Harapan besar muncul di tengah rakyat: kita akan bebas dan merdeka. Akan tetapi, kemerdekaan tak semudah yang dibayangkan. Di Semarang, tentara Jepang tidak mau menyerahkan senjata. Perang pun berkobar selama berhari-hari.

Bersamaan dengan itu, kekacauan terjadi di mana-mana: penjarahan, kelaparan, dan lain-lain. Lagi-lagi, Romo Soegija punya andil besar: ia berusaha bernegosiasi agar terjadi gencatan senjata.

Romo Soegija juga aktif berhubungan dengan pemimpin Republik: Bung Karno, Sjahrir, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Romo Kanjeng sering memberikan usulan-usulan kepada pemimpin Republik itu. Dan, sebagai bentuk dukungan kepada Republik, Romo Soegija memindahkan keuskupan dari Semarang ke Jogjakarta.

 

 

0 comments

Daily Journal

Recent Posts Widget
close