Menonton film sastra, merupakan seni tersendiri bagi penyuka untuk memahami dialog apa yang disampaikan, serta politik yang berdampak pada rakyat Indonesia, ketika itu. hal Ini sesuai dengan pesan Romo Soegija sendiri: “Apa artinya menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri sendiri.”
Kemudian, soal lain yang disorot adalah kebhinekaan.
Ada adegan menarik di sini: saat Lingling bertanya ke Romo Soegija, “Romo, apa
memang sudah kodrat kami (keturunan Tionghoa) ya untuk selalu dijarah?”.
Pesan paling pentingnya adalah ini disisipkan di penghujung film berdurasi
115 menit ini. Saat itu, Soegija memberi pesan kepada seorang bekas pejuang
kemerdekaan, “Kalau jadi politikus, jangan haus kekuasaan. Kalau tidak, nanti
jadi benalunya negara.”
Bagi Romo Soegija, politik adalah soal melayani
rakyat. Karenanya, seorang pemimpin harus punya mental politik, yakni melayani
rakyat. Tanpa itu, pemimpin hanya akan menjadi benalu bagi negaranya.
Terakhir, sekalipun film ini berbicara tentang kisah
perjuangan seorang tokoh, tetapi cara Garin Nugroho mengangkatnya ke
layar-lebar sangat populer: mengalir, penuh dengan humor, sindiran-satire, dan
lain-lain.
Itulah pembuka film “Soegija”. Hendrik (Wouter Braaf), seorang wartawan Belanda, ditugaskan meliput upacara
pengangkatan seorang pribumi menjadi Uskup Danaba. Hendrik harus rela dicemooh
oleh temannya yang serdadu, Robert (Wouter Zweers), yang terbiasa menganggap
pribumi itu tak ubahnya seekor “kerbau”.
Akhirnya, kami merekomendasikan agar anda
menyisipkan sedikit waktu untuk menonton film “Soegija”. Film ini sangat
penting sebagai sumber inspirasi bangsa kita dan sebagai pijakan persatuan
dalam kerangka mengusir imperialisme yang sedang menjajah bangsa kita saat ini
Meski mengambil setting tahun 1940-an dan perjuangan
kemerdekaan, tetapi film “Soegija” seakan lebih banyak membawa pesan untuk
pemimpin dan bangsa Indonesia sekarang. Paska kemerdekaan, misalnya, film ini
mengangkat berbagai pergulatan paska Indonesia merdeka: tentang bagaimana
mengisi kemerdekaan ini agar bisa memajukan harkat dan martabat rakyat.
Harapan besar muncul di tengah rakyat: kita akan bebas dan
merdeka. Akan tetapi, kemerdekaan tak semudah yang dibayangkan. Di Semarang,
tentara Jepang tidak mau menyerahkan senjata. Perang pun berkobar selama
berhari-hari.
Bersamaan dengan itu, kekacauan terjadi di mana-mana:
penjarahan, kelaparan, dan lain-lain. Lagi-lagi, Romo Soegija punya andil
besar: ia berusaha bernegosiasi agar terjadi gencatan senjata.
Romo Soegija juga aktif berhubungan dengan pemimpin
Republik: Bung Karno, Sjahrir, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Romo Kanjeng
sering memberikan usulan-usulan kepada pemimpin Republik itu. Dan, sebagai
bentuk dukungan kepada Republik, Romo Soegija memindahkan keuskupan dari
Semarang ke Jogjakarta.
0 comments