Lidah memang memiliki citarasa yang berbeda, akan sangat menarik jika ada umat manusia pergi kuliner dengan mengunjungi sebuat tempat-tempat untuk mencicipi dengan berbagai budaya, dan kondisi konflik sosial yang dibuat pada aspek sosiologi konsumsi yang mereka terima.
Hal ini, dapat dipahami hasil dari aspek kehidupan sosial budaya,
dan politik yang dibuat untuk mencapai pendidikan yang berdaya saing. Sehingga,
tidak heran hingga tidak memiliki kebutuhan pangan,sandang, papan, serta
mengorbankan orang lain, Batak.
Itu ada pada suku di Indonesia, dengan asimilasi budaya yang
mereka terapkan hingga saat ini akan dipahami bagaimana mereka maju dan
berprilaku dan kehidupan sosial dan budaya, guna mencapai berbagai tingkat
keburukan yang mereka perbuat, Sihombing, Pontianak, Kalimantan Barat
2011-2019.
Hasil yang diterima pada aspek ekonomi, yaitu politik seksualitas,
dengan hasil pekerjaan yang dikerjakan. Hal ini tentunya adanya
pelanggaran-pelanggaran agama yang mencapai kebiadaban umat manusia, dalam
pekerjaannya, selain pemberontakan mereka terhadap terbentuknya sejarah agama
Kristen Protestan – Islam.
Dengan pendekatan lidah yang memiliki citarasa yang baik, untuk
mereka konsumsi, sebagai dasar bagaimana mereka hidup, dan memperlakukan orang,
suatu pembelajaran terhadap budaya, sangat berbeda jauh dengan budaya lainnya.
Itu yang menciptakan manusia, dalam aspek kesukuan dengan bentuk
manusia itu sendiri. Bagaimana mereka hidup dan mengakses ekonomi politik,
sosial dan budaya. Pendidikan dan kesehatan yang diterima, menjadikan merekja
pembelajaran hidup terhadap kelas sosial mereka saat ini.
Hal ini tidak sertakan bagaimana mereka berpindah sebelumnya,
dipulau Jawa dan Sumatera, Toba. Hal in jelas apa yang menjadi pemicu konflik
sosial, di masyarakat dan apa yang menjadi baik bagi setiap pekerjaan mereka
hingga saat ini, dengan cara mengadu domba pada setiap antar suku Batak Silaban, bringas (karakteristik Bringas) Sihombing, - Jawa, Lihat kembali sejarah di Jawa konflik terjadi, dan bagaimana mereka mendapatkan ekonomi mereka, "Jika gak ada orang Tionghoa susah katanya", BUDAYA MALU HILANG.
Tangan-tangan yang dihasilkan, dari keburukan mereka terhadap
agama dan hidup sosial yang tampak dapat dipahami dari sebuah pengetahuan. Hal
ini tidak diketahui baik,bagaimana agama menjadi alasan mereka terhadap adanya
Tuhan, untuk mereka bertobat dari setiap kejahatan mereka buat, dengan orang
lain, keluarga, dan masyarakat.
Memanfaatkan (meneguhkan) agama, dan kitab tampak bagaimana mereka hidup saat ini, sebagai ajaran yang memiliki peran terhadap aspek kehidupan sosial budaya di masyarakat, hingga mencapai titik kritis mereka bertahan hidup.
Maka mereka melibatkan berbagai akses pekerjaan, hingga seksualitas dilangsungkan, untuk tetap bertahan pada ekonomi budaya mereka, Marpaung (Jawa), Pontianak, Kalimantan Barat (Seksualitas), dan Tuhan, hingga mencapai catatan babtis, Protestan - Islam - Budha - Katolik, Indonesia.
0 comments