Indonesia memiliki sejarah panjang yang konon katanya kehidupan sosialnya dimulai pada
masa berburu, meramu, dan masa bercocok tanam dan prasejarah. Pada masa-masa tersebut
tentunya manusia saat itu menggantungkan hidupnya dengan alam. Hubungan yang begitu
erat antara alam dan manusia telah mengarahkan akan adaptasi dengan lingkungan yang
ditempati secara menetap maupun berpindah-pindah.
Kehidupan sosial yang erat dengan alam tersebut tentunya menyumbang usaha yang begitu
besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan hasil yang didapatkan di alam.
Kebutuhan yang tidak begitu instant telah menghantarkan mereka akan budaya yang begitu
besar akan untuk bertahan hidup.
Kehidupan berburu, meramu dan bercocok tanam telah
dilakoni dimana kehidupan budaya yang mereka miliki dengan alat sederhana, pembagian
kerja, berpindah-pindah hingga menetap telah mereka lalui dengan kesederhanaanya dalam
membentuk suatu komunitas maupun perkampungan.
Wajah kasar Indonesia pada saat itu terjadi begitu adanya, dimana masa yang begitu
sederhana telah mereka lalui untuk dapat terus bertahan hidup. Ditambah pula dengan alam
yang begitu subur dan luas ini telah menghantarkan Indonesia sebagai Negara agraris.
Fakta ini terkuak ketika potensi sumber daya alam Negara Indonesia memiliki tingkatan
biodiversitas tinggi kedua di Dunia setelah brazil 1 . Negara agraris yang memiliki potensi
sumber daya alam yang begitu besar tentunya diharapkan akan memberikan sumbangan
besar akan pangan di Indonesia. Karena sebagian besar penduduknya (65%-75%) bermata
pencaharian dibidang pertanian 2 .
1 Diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_alam#Sumber_daya_alam_di_Indonesia,
pada tanggal 20 Mei 2014. Hitipeuw J.2011. Indonesia . The World Second Mega Biodiversity
Country. Dikutip dari Kompas, 16 Mei 2011..
2 Diakses di https://www.academia.edu/4893908/Perkembangan_Masyarakat_Indonesia_pada_Masa_Orde_Ba
ru_1, pada tanggal 20 Mei 2014.
Usaha yang dilakukan pada pemerintahan orde lama - orde baru tentunya tak lepas dari
kebijakan yang ditentukan pada “Surat perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar yang sudah
menjadi ketetapan MPRS No. IX untuk membentuk kabinet baru dan di bentuk Kabinet
Ampera yang bertugas untuk menciptakan stabilitas nasional. Sedangkan tugas pokok yang
dicanangkan oleh Kabinet Ampera salah satu diantaranya adalah memperbaiki kehidupan
rakyat terutama di bidang pangan dan sandang.
Meskipun demikian, dalam penulisan naskah ini akan terfokus pada pangan. Untuk itu segala upaya dari setiap masa pemerintah diharapkan memberikan efek yang begitu besar akan pembangunan Indonesia terutama dari sektor pangan. Maka, program pemerintahan pun terus digalakan untuk memenuhi target yang dicapai.
Meskipun demikian, masih banyak lagi tantangan dalam memperbaiki pangan masyarakat
tak terlepas dari persoalan pasar dan perubahan masyarakat yang dikatakan modern/ budaya
membeli. Hal ini mengingat setiap masa masyarakat kebanyakan telah menjadi masyarakat
pekerja yang begitu aktif membeli dan mengkonsumsi secara cepat. Ditambah lagi dengan
pengalihan fungsi lahan yang lebih cepat menguntungkan. Inilah tantangan yang begitu
berat dalam menghadapi budaya masyarakat yang hingga saat ini tampak.
Hanya tersisa bagaimana masyarakat ini akan menyadari sesuatu yang sederhana ini tetapi memiliki
dampak yang besar bagi budaya bangsa Indonesia kedepannya. Untuk itu dalam penulisan
ini, tak akan dilupakan hal yang sederhana untuk diingat kembali, dimana budaya menanam
dan mengkonsumi itu perlu diperhatikan pula, dari hal terkecil ini tentunya diharapkan akan
memberikan efek yang positif untuk menjaga pengurangan impor pangan yang begitu besar
serta menguatkan kembali nilai-nilai atau ide-ide dalam budaya menanam dari tingkat
terkecil ini.
Dari Budaya Beli Menuju Budaya Menanam Untuk Kebutuhan Pangan Masyarakat
Hal yang sederhana dari budaya tentunya terdapat tiga bentuk yaitu “1. membeli tentunya
dilihat dari kelakukan masyarakat dalam wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lain sebagainyaa, 2) wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat, dan 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Untuk
wujud kebudayaan yang ideal dapat berupa adat tata-kelakuan atau adat-istiadat, yang
menunjukkan bahwa kebudayaan itu berfungsi sebagai tata-kelakuan yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah kepada kelakukan dan perbuatan manusia dalam
masyarakat” 3 .
Hidup di perkotaan begitu erat dalam pikiran setiap manusia sebagai masyarakat pekerja.
Sebagai masyarakat pekerja tentunya akan menyitakan banyak waktu untuk menghasilkan
alat tukar atau uang, yang gunanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini jelas
bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat harus membeli. Dengan
membeli masyarakat tentunya akan mendapatkan dengan instan atau cepat. Inilah salah satu
tantangan masyarakat perkotaan yang lama kelamaan akan membentuk masyarakat yang
berkelas modern.
Dengan membeli tentunya masyarakat akan begitu erat dengan kata konsumsi, dengan kata
lain lebih banyak konsumsinya daripada memproduksi. Hal ini akan terlihat bentuk
masyarakat yang memiliki pola hidup dan kebiasaan yang secara mudah dalam membentuk
budaya yang serba modern dan instan. Tidak diherankan apabila pola seperti ini jika
dipertahankan tentunya akan memberikan dampak atau peluang besar untuk terus menerus
mengimpor.
Budaya masyarakat lebih erat dengan membeli daripada menanam ini, telah memberikan
angin segar bagi negara-negara lain untuk menyuplai pangan dari Negara Tetangga yaitu
Malaysia untuk mengimpor bahan pangan seperti kedelai, lada, cabe, ayam 4 tersebut, telah
memberikan pertanyaan bagi Indonesia, mengenai kemana lahan dan tanah yang subur
Indonesia ini?. Mengingat budaya membeli begitu meningkat, setidaknya masyarakat mampu mengikuti budaya menanam yang begitu sederhana. Tidak perlu memiliki lahan yang begitu luas
3 Diambil pada http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/sites/46/2013/10/aan-
rukmana_warisan-dan-pewarisan-budaya_penyerbukan-silang-budaya_penyerbukan-silang-
antarbudaya.pdf. Tentang Definisi Kebudayaan. Diakses pada tanggal 20 Mei 2014.
4 Diakses di http://bisnis.liputan6.com/read/791735/ri-masih-impor-7-pangan-ini-dari-malaysia.
Pada tanggal 20 Mei 2014.
Seperti pertanian yang berskala besar, tetapi setidaknya dimulai pada budaya menanam pada tingkat rumah tangga. Budaya menaman tidak selalu harus di lahan kosong yang luas seperti di desa-desa, namun
bisa dilakukan dengan dimensi yang sederhana seperti di pekarangan rumah, atap, balkon
dan tempat-tempat lain yang memungkinkan. Tentunya tanaman yang ditanampun bukan
berupa tanaman-tanaman yang memerlukan lahan luas agar tumbuh hidup dengan baik.
Tanaman sayur-sayuran menjadi jenis tanaman yang potensial untuk diterapkan dalam
budaya menanam bagi masyarakat perkotaan. Waktu hidup tanaman sayuran yang relatif
singkat serta tidak memerlukan lahan luas alias bisa hidup di pot-pot atau polibag
menjadikan tanaman jenis ini menjadi pilihan yang tepat bagi masyarakat kota yang ingin
memulai menaman.
Sayur-sayuran yang segar hasil dari menaman sendiri tentunya menjadikan makanan
tersebut lebih bergizi bagi kesehatan keluarga. Selain itu juga meminimalkan budaya beli,
dimana budaya beli membuat kehidupan masyarakat kota menjadi tidak produktif untuk
hal-hal yang seharusnya bisa mereka produksi sendiri dan tentunya tidak akan menyita
waktu mereka terlalu banyak, sehingga mereka masih bisa untuk beraktivitas seperti
biasanya.
Dengan demikian, dalam skala besar masyarakat dapat meningkatkan budaya menanam
serta secara otomatis mengurangi budaya beli, sehingga dapat memberikan efek positif
dalam keluarga, dan jika disosialisasikan terhadap anak-anak mereka, maka untuk efek
jangka panjang dapat membantu pengurangan impor di Indonesia.
Tren Budaya Pertanian Kota
Budaya menanam melalui pertanian kota atau urban farming ini telah diterapkan di
berbagai kota besar seperti di Kanada. Sejak 1970 di Vancouver, Kanada telah terbentuk
organisasi City Farmer yang mewadahi pertanian kota, dan memiliki sekitar 2500 hektar
kebun serta konsep untuk memanfaatkan lahan secara efisien bagi pertanian kota 5
Di luar negeri pemerintah Korea bahkan menganggarkan khusus untuk
mengimplementasikan pertanian kota secara berkala. Pemda kota Seoul mengumumkan
tahun ini sebagai tahun asal-mula pertanian kota dan untuk itu, pihaknya berencana untuk
membuat 1% area dari lahan seluruh kota Seoul sebagai kebun sayur di kota dengan
menghabiskan dana senilai 6,5 miiliar Won 6 .
Sedangkan di Indonesia, Kota Bandung untuk pertama kalinya diwajibkan untuk warganya
dari tingkat RW menerapkan pertanian kota ini 7 . Budaya menanam seperti ini kiranya dapat
memberikan efek positif bagi masyarakat akan nilai-nilai atau ide-ide yang dapat
diterapkan guna keberlangsungan hidup maupun solidaritas antar dan dalam keluarga.
Sementara dalam penulisan ini akan memberikan sedikit pandangan dari literatur mengenai
orang-orang Tionghoa terdahulu di Kalimantan Barat, yang menurut Burn yang merupakan
pedagang Inggris yang mengamati orang-orang Tionghoa, dimana ia beranggapan bahwa
“orang-orang Tionghoa lebih menyukai hasil bumi daripada emas” 8 . Mengapa demikian,
jika diketahui perjalanan orang-orang Tionghoa di wilayah tersebut, untuk bertahan hidup
juga melalui bercocok tanam dan mengumpulkan hasil hutan, dan mungkin emas pada saat
itu menurut orang Tionghoa tentunya memiliki keterbatasaan atau akan habis pula.
Anggapan ini tentunya memberikan hal yang positif juga bagi Masyarakat Lokal atau Daya
pada saat itu dimana mereka juga terus menigkatkan hasil produksi pangan.
Untuk menyingkapi hal yang sederhana ini tentunya memiliki tantangan yang begitu besar
pada masyarakatnya. Mengapa tidak? Kebiasaan masyarakat yang sudah lama tertata
5 Urban Agriculture And Food Security Initiatives In Canada, Diakses di
http://lifecyclesproject.ca/resources/downloads/food_security_survey.pdf, 27 Mei 2014
6 Tren Budaya Korea : Demam pertanian di dalam kota, Diakses di
http://rki.kbs.co.kr/indonesian/program/program_trendkorea_detail.htm?No=43788, Pada Tanggal
26 mei 2014
7 Diakses di http://www.voaindonesia.com/content/pertanian-kota-solusi-penghijauan-di
bandung/1830394.html. Pada tanggal 24 Mei 2014.
8 Mary Somers, “ Penambang, Petani dan Pedagang di “Distrik” Thionghoa di Kalimantan Barat”,
hal. 20 dan 39……..., Karena dari hasil pegamatan Burn, pedangan Tionghoa menyenagi hasil
hutan seperti Damar, Rotan, dll. Sedangkan tempat untuk bercocok tanam orang Tionghoa
mengemarinya di Daratan Rendah.
dengan begitu instan tentunya harus melalui proses apalagi bagi masyarakat yang hidup di perkotaan.
Kesimpulan
Menguatkan dan mengingatkan kembali tentang masa – masa setiap sejarah akan
keberadaan serta peninggalan zaman nenek moyang bangsa Indonesia ini, kiranya
membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia akan kebutuhan pangan. Dimana budaya
menanam juga akan membantu kebutuhan atau ketahanan pangan masyarakat, dan bukan
berarti tidak membutuhkan kebutuhan pokok lainnya.
Budaya menanam dapat dimulai dari tempat menanam yang kecil khususnya bagi
masyarakat yang tinggal di Kota dengan mengembangkan urban farming 9 . Urban farming
setidaknya memberikan efek positif bagi ekonomi, membantu pengurangan impor, dan
ketahanan pangan masyarakat, tentunya mengarah pada menuju pola masyarakat untuk
menanam dengan tanaman yang produktif seperti cabe, sayur mayur, kangkung, atau
kebutuhan pangan yang bermanfaat pada tingkat terkecil, yaitu keluarga.
Untuk menunjang hal tersebut tentunya komoditi yang tidak atau dapat disediakan bagi
masyarakat perkotaan, tentunya peran pasar tradisional menjadi hal yang menarik untuk
disediakan. Disamping itu juga setiap kalangan dapat membudayakan budaya nya sendiri,
tanpa harus memikirkan kelas suatu masyarakat, serta dapat berkontribusi dalam
pengurangan impor dan ketahanan pangan bagi masyarakat Indonesia ini.
Paper : Yayasan Nabil, Jakarta.
0 comments