Perayaan Cap Go Meh “Tionghoa”, Ingatan Jalan Sejarah di Indonesia

3/16/2015

Foto: Gajah Mada, Maret 2015
Berdasarkan penelusuran di beberapa literatur yang membahas mengenai Perayaan “Cap Go Meh”, telah diyakini bersama bahwa ada simbol dibalik perayaan ini. 

Hal ini melambangkan bahwa hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia dan khususnya Indonesia.

Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Perayaan Imlek bagi warga Tionghoa merupakan salah satu warisan budaya atau kultur leluhur yang terus diwarisi disetiap generasinya. Meskipun sebelum era reformasi hal ini masih menjadi stigma negatif bagi orang-orang tertentu.

Sementara dalam catatan sejarah Indonesia, orang Tionghoa dianggap atau sulit diterima diluar kaumnya. Tetapi, apa yang dikatakan oleh Charles Coppel di masa Kolonial dapat dikutip bahwa “keberadaan mereka, akhirnya perlahan diterima kaum nasionalis Indonesia sejak masa Kolonial Belanda”.

Sementara pada Maret 1963, Soekarno memperjelas konsep yang pernah ia lontarkan pada 1945 tentang status orang Tionghoa dalam wadah negara Indonesia, ketika ia menyampaikan pidato di Kongres Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Ia menyatakan bahwa peranakan Tionghoa ialah suku Indonesia. 

Suku artinya kaki. Bangsa Indonesia memiliki banyak kaki, sama seperti lipan yang memiliki kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatra, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, dan kaki peranakan Tionghoa. Kaki peranakan ialah salah satu dari kaki-kaki kebangsaan(Siauw,1963).

Foto: Rumah Dinas Wakil Gubernur, Kalbar, Maret 2015 
Kemudian, Hal ini tidak sama Di era Orde Baru (Orba), HM Soeharto menerapkan kebijakan asimilasi untuk menggabungkan etnik Tionghoa yang berasal dari kelompok non-pribumi ke dalam tubuh penduduk asli. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakannya yang memberatkan orang-orang Tionghoa. 

Dimana, Pada masa Orba orang Tionghoa harus meninggalkan keTionghoannya jika ingin menjadi orang Indonesia[1]. Salah satu kebijakan yang menjadi pembahasan ini adalah “larangan mengadakan perayaan hari-hari raya Tionghoa. Larangan ini tertuang pada Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967.

Meskipun demikian, kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam Instruksi presiden yang rasis ini, kemudian dihapus pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, dengan mengeluarkan Intruksi Presiden No. 6/2000 yang isinya mencabut Inpres No. 14/ 1967. Atas langkah kebijakan Gusdur, maka kebebasan etnis Tionghoa dalam menjalankan kebudayaannya telah melahirkan suatu kebudayaan di Indonesia.

Sejak adanya Intruksi Presiden No. 6/2000, yang berimplikasi pada masyarakat Tionghoa khususnya dimasa sekarang ini, masyarakat Tionghoa dapat dengan bebas untuk melaksanakan budaya yang telah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Di Pontianak euphoria perayaan Cap Go Meh menjadi even tahunan yang dinantikan oleh masyarakat Pontianak yang beretnis Tionghoa pada khususnya.

Disadari atau tidak, perayaan Cap Go Meh ini tidak hanya berimpilikasi pada masyarakat Tionghoa saja. Dari segi ekonomi khususnya para pedagang-pedangan kecil juga memperoleh rezeki dari perayaan Cap Go Meh ini, dimana masyarakat bertumpah ruah menyaksikan parade festival naga yang ada, pada perayaan Cap Go Meh ini. 

Sehingga, secara tidak langsung meningkatkan pendapatan para pedagang-pedagang kecil tersebut, dan disamping itu juga parade festival naga yang dipertunjukan ini telah memancing setiap elemen masyarakat untuk menyaksikan secara langsung event tahunan ini. 

Dapat dikatakan bahwa perayaan Cap Go Meh ini secara tidak langsung menjadi wadah, dimana seluruh budaya- budaya yang ada di Indonesia dapat bersatu padu mewujudkan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, seperti yang dicita-citakan pelopor proklamasi Indonesia.

Perayaan Cap Go Meh ini sangat meriah, animo masyarakat sangat tinggi bahkan sebelum parade naga dimulai masyarakat sudah berbondong-bondong memadati jalan protokol di pontianak yaitu jalan Gajahmada. Berbagai macam jajanan pasar juga tersedia di sepanjang jalan Gajahmada ini. 

Memang mengingat begitu membludaknya masyarakat yang menyaksikan, kondisi di jalan menjadi sedikit tidak teratur namun masih dalam tahap wajar, parade naga dimulai sekitar pukul 15:00 WIB namun masyarakat sudah ada yang antri menyaksikan dari sekitar pukul 9:00 WIB. 

Tentu saja tidak semuanya menyaksikan dengan berdiri yang tentunya akan sangat melelahkan, kondisi ini menjadi rezeki tersendiri bagi pemilik-pemilik warung kopi yang ada di sepanjang jalan Gajahmada ini. Sembari menunggu parade naga mereka dapat berbincang-bincang dengan teman-teman yang ikut menyaksikan perayaan Cap Go Meh ini sambil menyeruput kopi yang cukup diminati masyarakat disini.

Foto : Gajahmada, Maret 2015
Warung-warung kopi tempat bersantai sejenak sembari menunggu parade naga pun telah penuh, dan masyarakat dapat menuju ke stand-stand kuliner yang telah dipersiapkan di jalan Diponegoro yang menyediakan berbagai macam makanan dan jajanan pasar yang tentunya sangat menarik. Tanpa terasa parade naga pun telah dimulai masyarakat yang datang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. 

Jika kita lihat dari atas, tampak pemandangan yang seolah-olah naga tersebut berenang dilautan manusia, sangat menakjubkan dan mungkin jarang sekali suatu even dapat menarik animo masyarakat yang begitu besar ini. 

Terlepas dari unsur kesukuan, budaya perayaan Cap Go Meh ini merupakan salah satu aset pariwisata yang menjanjikan dengan keunikan dan penggarapan secara total dari masing-masing pihak yang terlibat sehingga perayaan ini tidak hanya dinikmati oleh masyrakat Tionghoa saja namun juga dapat dinikmati oleh seluruh elemen lapisan masyarakat.

Disamping itu juga, sebagai bentuk untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah juga memperhatikan masyarakat Tionghoa dalam kebudayaannya. Sehingga sebagai bentuk pengharapan masyarakat, even ini akan terus berlangsung disetiap tahunnya. 

Dengan pertimbangan kebebasan berekspresi secara total dengan memandang unsur-unsur ke Bhinneka Tunggal Ika-an dan Hak Asasi Manusia menjadikan kita sadar bahwa sesungguhnya bangsa kita Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang memiliki Budaya yang sangat beraneka ragam yang saling melengkapi satu sama lain yang terangkum dalam satu kata yaitu INDONESIA.

Doc : 3 Maret 2015

0 comments

Daily Journal

Recent Posts Widget
close