Berawal dari sidang umum badan pekabaran Injil pada tahun 1834, organisasi Misionaris Kristen Protestan terbesar di Jerman, Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) atau Zending Barmen memutuskan mengambil tempat pekabaran Injil di Borneo/Kalimantan, khususnya di antara Suku Dayak.
Sebagai perintis, diutuslah Misionaris J.H.
Barnstein dan Heyer yang kemudian tiba di ibu kota Hindia Belanda, Batavia
(sekarang Jakarta), pada 13 Desember 1834. Selama beberapa bulan berurusan
dengan pemerintah, Missionaris Heyer terganggu kesehatannya lalu kembali ke
Jerman. Misionaris J.H. Barnstein meneruskan perjalanannya selama 44 hari
dengan menumpang kapal layar sampai Banjarmasin, Kalimantan, pada 26 Juni 1835.
Dari Banjarmasin, Barnstein melakukan
observasi di pesisir Sungai Barito, Kahayan (terutama Pulau Petak), Katingan,
Mentaya, Pembuang dan seterusnya sampai ke sungai Kapuas Buhang. Setelah
mengadakan observasi, ia menetapkan tempat pangkalan pos pekabaran Injil di
Banjarmasin.
J.H. Barnstein masuk daerah suku Dayak yang
jaraknya dekat dengan Banjarmasin. Dalam perjalannya, di sebuah kampung bernama
Gohong (Kahayan), Barnstein "diangkat saudara dengan darah" (hangkat hampahari hatunding daha dalam bahasa
Dayak) oleh kepala suku Dayak setempat ketika itu.
Sejak itu Barnstein dianggap sebagai
saudara orang Dayak karena ia telah bertukar dengan kepala suku mereka. Lalu,
pada tanggal 3 Desember 1836, tiba lagi tiga orang penginjil, yaitu Becker,
Hupperts, serta Krusman dan langsung ditempatkan di wilayah pedalaman
Kalimantan.
Melalui buku Tuaiannya
Sungguh Banyak: Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835 karya
Fridolin Ukur, Barnstein disebut bekerja dan menjalin kekerabatan dari segala
golongan dan suku di Banjarmasin, baik itu muslim, Kaharingan, orang kulit
putih, maupun Tionghoa.
Hampir 30 tahun lamanya Barnstein bekerja di Kalimantan
sampai akhirnya ia wafat dan dikebumikan di Banjarmasin pada 11 Oktober 1863 Meskipun
Barnstein sudah tiada, pekabaran Injil terus berlanjut di tanah Kalimantan
hingga abad ke-20.
Pasang surut terjadi ketika meletus Perang
Dunia I, di mana RMG menyerahkan tugas pemberitaan Injil ke Zending Basel di Swiss pada tahun 1920. Selain
untuk pelayanan peribadatan ke orang-orang Dayak, Zending Basel juga
membawa misi pendidikan dan kesehatan.
Zending Basel turut mendirikan Sekolah Pendeta
(yakni cikal bakal terbentuknya Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan
Evangelis sekarang) pada tahun 1932 dan membidani lahirnya organisasi Gereja
Dayak Evangelis (sekarang menjadi Gereja Kalimantan Evangelis atau GKE) pada 4
April 1935 melalui Sinode Umum.
Ketua jemaat GKE Tahun 1980,
Jhonson Simanjuntak mengatakan pada awal misinya, Zending Basel memiliki
hubungan yang baik dengan Kesultanan Banjar yang bercorak Islam. Kesultanan
kala itu bahkan memberikan lahan untuk pembangunan gereja kepada para
misionaris.
Di atas lahan itu pun tak hanya didirikan
gereja, tetapi juga seminari, sekolah dan asrama guru, yang saat ini berada di
seberang gereja. ''Pemberian lahan ini dengan perjanjian misionaris tak
menyebarkan ajaran Kristen atau mengkristenkan muslim, khususnya suku Banjar,''
terang Jhonson dikutip GNFI dari Prokal.
0 comments