Kehidupan Lokal, Masyarakat Adat Dayak – Tionghoa di Pontianak

1/11/2022

Untuk memahami hutan, maka akan ada budaya adat yang tradisional berdasarkan hasil dari sistem politik, dan ekonomi yang dilangsungkan dengan baik. Ketika, memahami masyarakat adat pelosok Dayak yang masih tidak tahu apa – apa pada kehidupan kota, maka akan berbeda dengan adanya sistem budaya lokal, di masyarakat hingga saat ini.

Kepentingan masyarakat kota, dalam hal ini adalah adanya sumber daya alam, hutan, yang bersumber pada sumber kebutuhan pokok. Untuk melanjutkan berbagai konflik yang tercipta mengenai batas – batas gereja, hendaknya dipahami dengan adanya perebutan sumber daya.

Berbagai hal terkait itu juga dilangsungkan, dimulai pada aspek pendidikan dan kelas pekerja yang mengharuskan mereka hidup di lokal, Kalimantan dengan kehidupan brutal. Ketika pergantian politik, bagaimana mereka numpang hidup di lokal, Indonesia pada masyarakat Jawa – Dayak dan Batak, tanpa budaya malu sebagai orang Indonesia.

Rencana kejahatan itu pun dibuat pada seksualitas, tidak jauh dari kaum keluarga seorang petugas partai PDI Perjuangan, hanya kader politik yang memiliki potensi membuat iseng dan onar, serta merusak mental di masyarakat, dan individu, pedesaan.

Hal ini menjelaskan berbagai koalisi masyarakat Tionghoa dan Dayak di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat, dengan pekerjaan kedua orang tua mereka sebelumnya, guna naik kelas sosial, dan berbagai hal numpang hidup sebelumnya tanpa malu terhadap hasil seksualitas Kapuas Hulu 1970an.

Berbagai hal terkait itu juga, bagaimana kehidupan sosial, dan memperoleh berbagai sejarah panjang mereka dalam kehidupan sosial dengan baik, dan beragam sesuai dengan ekonomi seksualitas yang mereka terapkan, dan bagaimana genetika itu hidup pada masyarakat kota di Pontianak.

Memahami genetika bong - batak hulu di lingkungan rumah yang beringas dan bersembunyi dibalik tembok agama, pada pendidikan yang dibuat di Pontianak, dan budaya ekonomi, serta makan dan minum pada koridor rumah tangga 003, pada laki - laki mestinya punya malu untuk tinggal di rumah dan kehidupan sosial budaya, di masyarakat kota.

Dipahami pada pekerjaannya yang mereka terapkan pada lingkungan rumah tangga hingga saat ini, banyak belajar budaya batak - dayak - jawa (makan orang, makan duit, budaya batak), di Pontianak, akan berbeda, dengan ongkang kaki, bermimpi untuk seksualitas, suatu pengalaman pribadi saya Batak - Jawa, Tionghoa pontianak siapa mereka, dan kerja dimana menjadi awal pertanyaan saya.

Menjadikan catatan kriminalitas terhadap aktivitas ekonomi mereka, selama di Pontianak, dan bagaimana mereka bertahan hidup, dengan pekerjaan mereka saat ini 2017 – 2022. serta kecurangan dalam hidup, dan aktivitas ekonomi dan budaya mereka di masyarakat, dan rumah tangga, dan tidak beraktivitas misalnya.

Budaya malu, pada orang pedesaan dan kota, sangat jauh dengan sistem kepentingan ekonomi di masyarakat kota, dan datang ke kota enggan bekerja, tetapi banyak bicara, dan makan pun nebeng dengan istilah itu, yang mereka peroleh dari hasil perjuangan hidup  dan kelas mereka di masyarakat, tanpa malu dengan karakteristik mereka di masyarakat perkotaan, pada persoalanya adalah kontribusi.

Maka sandang, pangan dan papan menjadi sasaran terhadap perlindungan pada tembok agama mereka dimasyarakat, bahwa mereka beragama Katolik, Kristen, di Lokal, Indonesia, termasuk hasil asimilasi Islam di Kalimantan Barat, Indonesia sebelumnya, dalam hal ini, pada mata pencaharian mereka menjelaskan. 

Strategi hidup mereka di masyarakat, Batak - makan orang di Pontianak cari hidup ketika asimilasi budaya dan agama, adalah mendekati secara seskualitas, jika ada persoalan mengenai orang tua angkat dalam agama Kitab Kristen Protestan dan Katolik. 

Dan kesadaran individu dalam suatu budaya dan agama, otak kelas sosial kebawah - menegah, dan penghasut (orang Timur - Pontianak) hasil perjuangan kelas sosial pun terjadi, daei ekonomi seksualitas dan urbanisasi.


0 comments

Daily Journal

Recent Posts Widget
close