Pontianak, history masyarakat Tionghoa Hakka yang hidup di kawasan hutan, telah melibatkan berbagai hal terkait dengan aspek kebutuhan sosial yang berawal dari kehidupan lokal masyarakat adat Dayak dan Tionghoa di masa lalu.
Hal ini di ketahui sebagai konflik masyarakat adat Dayak dan
Tionghoa terhadap penguasaan sumber daya alam dan politik lokal di masa lalu.
Hal ini berujung pada ragam agama kriatiani dan non yang mengakibatkan berbagai
hal terkait penyuapan penegak hukum,
terhadap kriminalitas pada kawasan hutan.
Maka, dengan berbagai scenario dalam hal ini berawal dari
masyarakat yang merencanakan berbagai hal terkait moralitas dan etika ekonomi
yang dilibatkan dengan rasa ketidaksenang dan kehidupan sosial budaya yang
mereka buat dalam setiap misi gereja.
Konflik di masa lalu menjadi catatan terhadap setiap kejadian yang
terjadi di kabupaten dan kota Pontianak, dalam sistem perdagangan, dan
pemerintahan. Maka, dengan adanya penguasaan kekayaan dimiliki akan tampak pada
dinamika budaya lokal, yang berasal dari kalangan kelas sosial kebawah – menegah.
Kekayaan yang diperoleh direncanakan sebagai kemiskinan yang buat,
adalah sumber daya dalam setiap kebijakan Negara dan hukum, sebagai bentuk dari
ketidaksopanan, ketidaksenangan, etika, dan moral yang berasal dari lingkungan
gereja katolik di Keuskupan Agung Pontianak, terutama petugas di dalamnya.
Pelangaran – pelanggran hukum, diakibatkan dari kenyangnya hidup
mereka dari konsumsi, kendaraan, pendidikan, serta persoalan duniawi yang
mengakibatkan berbagai hal terkait kehidupan sosial budaya dan agama katolik –
non yang berasal dari setiap moralitas hidup di masa lalu. Hal ini sudah terjadi sebelum Indonesia merdeka –
1945.
Tionghoa penambang, mengakibatkan berbagai hal terkait moralitas
dan etika dalam setiap peristiwa terjadi, maka mereka hidup dramatis akan
tampak sebagai masyarakat Indonesia. Imam - berasal dari Negara Barat, pada tahun ini 2022 menyumbangkan
pemikiran mengenai konflik tambang yang ada di Kalimantan Barat, Kepada
Indonesia buku berjudul Sejarah Bagian Barat Borneo 1850 – 1900, Kapuas dan
Mandor.
0 comments