Tingkat konsumsi, kebutuhan lokal, yang ada di masyarakat secara khusus akan diketahui melalui sistem ekonomi sosial mereka di masyarakat hingga saat ini menjadi penting dalam melihat kesehatan sosial yang ada di masyarakat secara khusus.
Berbagai kepentingan ekonomi, dapat diterima berdasarkan sistem
budaya dan agama yang melatarbelakangi berbagai kehidupan sosial mereka
berdasarkan sistem pendidikan dan kesehatan yang ingin mengontrol kekuasaan
malau (Jawa, Yogyakarta), terutama turut campur orang Batak dan Tionghoa di
Pontianak – Jakarta, hasil dari sistem ekonomi politik PDI Perjuangan.
Apa yang menjelaskan selama mereka hidup di perkotaan, dan prilaku
moral serta etika mereka selama kehidupan sosial di Pontianak. Tentunya dengan
latarbelakang kehidupan budaya dan agama yang menjadi pandangan terhadap agama
Protestan dan Islam (Indonesia), pada kepentingan ekonomi budaya.
Hal ini dipahami bahwa kebutuhan kelas sosial menjadi dasar dari
kehidupan mereka selama di Kalimantan Barat terhadap kebutuhan ekonomi,
pendidikan, dan kesehatan yang dilangsungkan terhadap perjuangan kelas pada
tahun 2013 – 21.
Berbagai hal terkait dengan sistem budaya yang melekat pada
dinamika budaya akan dipahami dengan seksualitas yang mereka ciptakan
berdasarkan hasil seleksi alam dan agama. Hal ini dengan konsep agama yang
mumpuni pada tahun 2000 – 2011.
Dengan menjelaskan dengan adanya kepentingan, dan momen dalam
memanfaatkan setiap momen ekonomi politik pada partai PDI Perjuangan dengan
para suku Batak Sihombing, tidak lepas dari ketidakmaluaan budaya dan agama terhadap etika dan moral mereka selama hidup
politik di Kalimantan Barat dan DKI Jakarta 2008 - 2017.
Dengan langkah seperti itu, berbagai peran serta masyarakat yang
berada pada kondisi seksualitas mereka pada suku di Indonesia, perubahan sosial
dengan perpindahan pendudukan dengan urbanisasi yang menjelaskan berbagai
kepentingan ekonomi dan perlawanan PDI Perjuangan terhadap pembangunan
seksualitas perkotaan dan Desa.
Pembangunan fisik kota, Desa, dan manusia yang tidak lepas dari
kepentingan ekonomi para elit politik di kota Pontianak Tionghoa – Dayak – Jawa
– Batak ( suku ) dengan status pekerjaan mereka sebagai kapal, pendidik, dan
dokter dan hukum yang memang berasal dari karakteristik prilaku mereka terhadap
ekonomi politik mereka dapatkan, terhadap pembangunan di Kalimantan Barat 1980 –
1990an berlanjut pada 2000 - 2011.
Berlanjut pada catatan babtis sebagai administrasi, pada kring 6
Siregar – Tionghoa, dengan dipahami adanya politik tubuh dan seksualitas pada
agama Protestan dengan konsep seksualitas politik, tidak memiliki moral dan
etika selama di Pontianak misalnya menjadi catatan bagi manusia terhadap indek pembangunan, dan berlanjut pada jabatan sebelumnya Orang Dayak - Jawa, di MRPD Pancasila.
Perubahan itu muncul dengan adanya kesehatan sosial pada moral yang mesti diterima mereka, sesuai dengan kebijakan dan pemerintah kota dan provinsi pada masa itu tepatnya pada tahun 2000 – 21 apa yang bisa dijual dalam hal ini produknya, yaitu sumber daya manusia dengan kualitas rendah yang diciptakan.
Berdasarkan perjuangan
kelas sosial ekonomi, dan persaingan terhadap kontrol pendidikan pada kekuasaan, oleh Sihombing, Silaban GKE Kalimantan 2008, maka orang bersembunyi pada tembok gereja Protestan dan Islam (Indonesia), dengan cara menghukum siswa Hutagalung, dan Universitas Tanjungpura 2008 Pontianak, Indonesia.
Untuk meraih ruang seksualitas, untuk urusan percintaan dengan cara memaksa oleh Silaban (Perompak Kapal, Dosen dan Dokter 2011 - 21, diikuti oleh Arizona juga demikian) djan terus datang kerumah, serta seksualitas tanpa budaya ekonomi politik mereka ketika datang diberbagai kota.
Maka digunakan uang pada pendidikan dokter suatu bidang pekerjaan mereka untuk hidup beragama dan budaya politik selama di pontianak, Kalimantan Barat, dengan kondisi ekonomi sosial dan kehidupan rumah tangga, dan pendidikan mereka ( Batak - Jawa ) suku dan agama di Kalimantan Barat, Dayak - Tionghoa.
0 comments